Intelegensi dan IQ
A. Pengertian
Apakah makna intelegensi yang sesungguhnya ? Masyarakat
umumnya mengenal intelegensi sebagai istilah yang menggambarkan kecerdasan,
kepintaran ataupun kemampuan untuk memecahkan problem yang dihadapi.
Gambaran tentang anak yang berintelegensi tinggi adalah
gambaran mengenai siswa yang pintar, siswa yang selalu naik kelas dengan nilai
baik atau siswa yang jempolan di kelasnya. Bahkan gambaran ini meluas pada
citra fisik, yaitu citra anak yang wajahnya bersih, berpakaian rapi, matanya
bersinar atau berkacamata.
Sebaliknya gamabran anak yang berintelegensi rendah membawa
citra seseorang yang lamaban berfikir, sulit mengerti, prestasi belajarnya
rendah dan mulutnya lebih banyak menganga disertai tatapan mata bingung.
Pandangan awam sebagaimana digambarkan di atas, walaupun
tidak memberikan arti yang jelas tentang intelegensi namun pada umumnya tidak
berbeda jauh dari makna intelegensi sebagaimana yang dimaksudkan oleh para
ahli. Apapun definisinya, maka intelegensi memang mendeskripsikan kepintaran
dan kebodohan.
Kekaburan lingkup konsep mengenai intelegensi menyebabkan
sebagian ahli bahkan tidak merasa perlu untuk berusaha memberikan batasan yang
pasti.
Mereka beranggapan bahwa intelegensi mirip status mental
yang tidak memerlukan definisi, sedangkan perilkau intelegensi lebih konkrit
batasan dan ciri-cirinya sehingga lebih berguna untuk dipelajari.
Dengan melakukan identifikasi terhadap ciri-ciri dan
indikator-indikator perilaku intelegensi akan terkandung di dalamnya, berikut
ini akan disampaikan urutan singkat tentang intelegensi :
Macam-macam intelegensi :
1.
Intelegensi terikat dan bebas;
2.
Intelegensi menciptakan (kreatif) dan meniru
(eksekutif).
Intelegensi berasal dari bahasa Inggris intelligence.
Intelligence sendiri adalah terjemahan dari bahasa Lati intellectus dan
intelligentia.
Teori tentang intelegensi pertama kali dikemukakan oleh
Spearman dan Wynn Jones Pol tahun 1951 Spearman dan Wynn mengemukakan adanya
konsep lama mengenai suatu kekuatan (power) yang dapat melengkapi akal pikiran
manusia tunggal pengetahuan sejati.
Kekuatan tersebut dalam bahasa Yunani disebut Nous, sedangkan penggunaan kekuatan
disebut Noesis
Dari defenisi diatas, kita dapat mengambil kesimpulan yang
akan menjelaskan ciri-ciri intelegensi:
1.
Intelegensi merupakan suatu kemepuan mental yang
melibatkan proses berfikir secara rasional. Oleh karena itu, intelegensi tidak
dapat diamati secara langsung, melainkan harus di simpulkan dari berbagai
tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berfikir rasional.
2.
Intelegensi tercermin dari tindakan yang terarah
pada penyesuaian diri terhadap lingkungan dan pemecahan masalah yang timbul
dari padanya.
B. Factor yang mempengaruhi IQ
Faktor-faktor yang mempengaruhi intelegensi manusia :
a. Pembawaan
Banyak penelitian yang menunjukan bahwa individu-individu
yang berasal dari suatu keluarga, atau bersanak saudara, nilai dalam tes IQ
brkolerasi tinggi (±0,05). Diantara korelasi sangat tinggi (± 0,09), sedangkan
dianatara individu yang tidak bersanak keluarga kolerasinya sangat rendah sekali(±
0,02).
b. Kematangan
Kecerdasan tidak tetap statis, tetapi dapat tumbuh dan
berkembang
c. Factor lingkungan.
Perkembangan otak dangat dipengaruhhi oleh gizi yang
dikonsumsi. Oleh krana itu ada hubungan antara pemberian makanan bergizi dangan
intelegensi seseorang. Selain gizi, rangsangan yang bersifat kognitif emosional
dari lingkungan juga memegang peran yang sangat penting.
Berbagai penelitian menunjukan bahwa intelegensi bias
berkurang karena tidak ada bentuk rangsangan tertentu dalam awal-awal kehidupan
individu.
C. Intelegensi dan IQ
Inteligensi dan IQ Orang seringkali menyamakan arti
inteligensi dengan IQ, padahal kedua istilah ini mempunyai perbedaan arti yang
sangat mendasar.
Arti inteligensi sudah dijelaskan di depan, sedangkan IQ
atau tingkatan dari Intelligence Quotient, adalah skor yang diperoleh dari
sebuah alat tes kecerdasan. Dengan demikian, IQ hanya memberikan sedikit
indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang dan tidak menggambarkan kecerdasan
seseorang secara keseluruhan.
Skor IQ mula-mula diperhitungkan engan membandingkan umur
mental (Mental Age) dengan umur kronologik (Chronological Age).
Bila kemampuan individu dalam memecahkan persoalan-persoalan
yang disajikan dalam tes kecerdasan (umur mental) tersebut sama dengan
kemampuan yang seharusnya ada pada individu seumur dia pada saat itu (umur
kronologis), maka akan diperoleh skor 1.
Skor ini kemudian dikalikan 100 dan dipakai sebagai dasar
perhitungan IQ. Tetapi kemudian timbul masalah karena setelah otak mencapai
kemasakan, tidak terjadi perkembangan lagi, bahkan pada titik tertentu akan
terjadi penurunan kemampuan.
Pengukuran Inteligensi
Pada tahun 1904, Alfred Binet dan Theodor Simon, 2 orang
psikolog asal Perancis merancang suatu alat evaluasi yang dapat dipakai untuk
mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan kelas-kelas khusus (anak-anak yang
kurang pandai). Alat tes itu dinamakan Tes Binet-Simon. Tes ini
kemudiandirevisi pada tahun 1911.
Tahun 1916, Lewis Terman, seorang psikolog dari Amerika
mengadakan banyak perbaikan dari tes Binet-Simon. Sumbangan utamanya adalah
menetapkan indeks numerik yang menyatakan kecerdasan sebagai rasio
(perbandingan) antara mental age dan chronological age.
Hasil perbaikan ini disebut Tes Stanford_Binet. Indeks
seperti ini sebetulnya telah diperkenalkan oleh seorang psikolog Jerman yang
bernama William Stern, yang kemudian dikenal dengan Intelligence Quotient atau
IQ. Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak
sampai usia 13 tahun.
Salah satu reaksi atas tes Binet-Simon atau tes
Stanford-Binet adalah bahwa tes itu terlalu umum. Seorang tokoh dalam bidang
ini, Charles Sperrman mengemukakan bahwa inteligensi tidak hanya terdiri dari
satu faktor yang umum saja (general factor), tetapi juga terdiri dari
faktor-faktor yang lebih spesifik. Teori ini disebut Teori Faktor (Factor
Theory of Intelligence). Alat tes yang dikembangkan menurut teori faktor ini
adalah WAIS (Wechsler Adult Intelligence Scale) untuk orang dewasa, dan WISC
(Wechsler Intelligence Scale for Children) untuk anak-anak.
Di samping alat-alat tes di atas, banyak dikembangkan alat
tes dengan tujuan yang lebih spesifik, sesuai dengan tujuan dan kultur di mana
alat tes tersebut dibuat.
Pengukuran Inteligensi Pada tahun 1904, Alfred Binet dan
Theodor Simon, 2 orang psikolog asal Perancis merancang suatu alat evaluasi
yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan
kelas-kelas khusus (anak-anak yang kurang pandai). Alat tes itu dinamakan Tes
Binet-Simon.Tes ini kemudian direvisi pada tahun 1911.
Tahun 1916, Lewis Terman, seorang psikolog dari Amerika
mengadakan banyak perbaikan dari tes Binet-Simon. Sumbangan utamanya adalah
menetapkan indeks numerik yang menyatakan kecerdasan sebagai rasio
(perbandingan) antara mental age dan chronological age. Hasil perbaikan ini
disebut Tes Stanford_Binet.
Indeks seperti ini sebetulnya telah diperkenalkan oleh
seorang psikolog Jerman yang bernama William Stern, yang kemudian dikenal
dengan Intelligence Quotient atau IQ. Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan
untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun.Salah satu reaksi atas
tes Binet-Simon atau tes Stanford-Binet adalah bahwa tes itu terlalu umum.
Seorang tokoh dalam bidang ini, Charles Sperrman
mengemukakan bahwa inteligensi tidak hanya terdiri dari satu faktor yang umum
saja (general factor), tetapi juga terdiri dari faktor-faktor yang lebih
spesifik. Teori ini disebut Teori Faktor (Factor Theory of Intelligence). Alat
tes yang dikembangkan menurut teori faktor ini adalah WAIS (Wechsler Adult Intelligence
Scale) untuk orang dewasa, dan WISC (Wechsler Intelligence Scale for Children)
untuk anak-anak.
Di samping alat-alat tes di atas, banyak dikembangkan alat
tes dengan tujuan yang lebih spesifik, sesuai dengan tujuan dan kultur di mana
alat tes tersebut dibuat
Beberapa tes intelegensi populer:
1.
Stanford Binet Intellegence Scale; Diterbitkan
pada tahun 1972. Tes-tes dalam skala ini dikelompokkan menurut berbagai level
usia, mulai dari usia -11 sampai dengan usia dewasa“ superior.
2.
The Wechsler Intellegence Scale For Children “
Revised (WISC-R);Diterbitkan tahun 1974, dimaksudkan untuk mengukur intelegensi
anak-anak usia 6 sampai dengan 16 tahun.
3.
The Wechsler Adult Intellegence Scale“ Revised
(WAIS-R);Terdiri dari skala verbal dan skala performasi, untuk digunakan subjek
(orang) yang berusia antara 16 sampai 64 tahun.
4.
The Standard Progresive Matrices (SPM); Salah
satu bentuk skala intelegensi yang dapat diberikan secara individual atau
kelompok. Tesnya bersifat nonverbal.
5.
The Kaufman Assesment Battery For Children
(K-ABC); Mirip baterai (rangkaian) tes yang relatif baru yang di peruntukkan
bagi anak-anak usia 2,5 tahun sampai 12,5 tahun.
D. Inteligensi dan Bakat
Inteligensi merupakan suatu konsep mengenai kemampuan umum
individu dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Dalam kemampuan yang umum ini, terdapat kemampuan-kemampuan
yang amat spesifik. Kemampuan-kemampuan yang spesifik ini memberikan pada
individu suatu kondisi yang memungkinkan tercapainya pengetahuan, kecakapan,
atau ketrampilan tertentu setelah melalui suatu latihan. Inilah yang disebut
Bakat atau Aptitude. Karena suatu tes inteligensi tidak dirancang untuk
menyingkap kemampuan-kemampuan khusus ini, maka bakat tidak dapat segera
diketahui lewat tes inteligensi.
Alat yang digunakan untuk menyingkap kemampuan khusus ini disebut
tes bakat atau aptitude test. Tes bakat yang dirancang untuk mengungkap
prestasi belajar pada bidang tertentu dinamakan Scholastic Aptitude Test dan
yang dipakai di bidang pekerjaan adalah Vocational Aptitude Test dan Interest
Inventory.
Contoh dari Scholastic Aptitude Test adalah Tes Potensi
Akademik (TPA) dan Graduate Record Examination (GRE).
Sedangkan contoh dari Vocational Aptitude Test atau Interest
Inventory adalah Differential Aptitude Test (DAT) dan Kuder Occupational
Interest Survey.
E. Inteligensi dan Kreativitas
Kreativitas merupakan salah satu ciri dari perilaku yang
inteligen karena kreativitas juga merupakan manifestasi dari suatu proses
kognitif. Meskipun demikian, hubungan antara kreativitas dan inteligensi tidak
selalu menunjukkan bukti-bukti yang memuaskan.
Walau ada anggapan bahwa kreativitas mempunyai hubungan yang
bersifat kurva linear dengan inteligensi, tapi bukti-bukti yang diperoleh dari
berbagai penelitian tidak mendukung hal itu. Skor IQ yang rendah memang diikuti
oleh tingkat kreativitas yang rendah pula.
Namun semakin tinggi skor IQ, tidak selalu diikuti tingkat
kreativitas yang tinggi pula. Sampai pada skor IQ tertentu, masih terdapat
korelasi yang cukup berarti. Tetapi lebih tinggi lagi, ternyata tidak ditemukan
adanya hubungan antara IQ dengan tingkat kreativitas.
Para ahli telah berusaha mencari tahu mengapa ini terjadi.
J. P. Guilford menjelaskan bahwa kreativitas adalah suatu proses berpikir yang
bersifat divergen, yaitu kemampuan untuk memberikan berbagai alternatif jawaban
berdasarkan informasi yang diberikan.
Sebaliknya, tes inteligensi hanya dirancang untuk mengukur
proses berpikir yang bersifat konvergen, yaitu kemampuan untuk memberikan satu
jawaban atau kesimpulan yang logis berdasarkan informasi yang diberikan.
Ini merupakan akibat dari pola pendidikan tradisional yang
memang kurang memperhatikan pengembangan proses berpikir divergen walau
kemampuan ini terbukti sangat berperan dalam berbagai kemajuan yang dicapai
oleh ilmu pengetahuan.
F. Teori-teori dan Pendekatan-Pendakatan Tentang Intelegensi.
Diantara bebrapa uraian ringkas mengenai teori intelegensi
beserta tokohnya masing-masing sebagai berikut:
1.
Alfred Binet mengatakan bahwa intelegensi
bersifat monogenetik yaitu berkembang dari suatu faktor satuan. Menurutnya
intelegensi merupakan sisa tunggal dari karekteristik yang terus berkembang
sejalan dengan proses kematangan seseorang.
2.
Edward Lee Thorndike, teori Thorndike menyatakan
bahwa intelegensi terdiri dari berbagai kemampuan spesifik yang ditampikan dalam
wujud perilaku intelegensi.
3.
Robert J. Sternberg, teori ini mentikberatkan
pada kesatuan dari berbagai aspek intelegensi sehingga teorinya teorinya lebih
berorientasi pada proses. Teori ini disebut juga dengan Teori Intelegensi
Triarchic.
Teori ini berusaha menjelaskan secara terpadu hubungan
antara:
•
Intelegensi dan dunia internal seseorang
•
Intelegensi dan dunia eksternal seseorang
•
Intelegensi dan pengalaman
Adapun dalam memahami hakikat intelegensi, Maloney dan Ward
(1976) mengemukakakn empat pendekatan umum, yaitu.
1. Pendekatan Teori Belajar
Inti pendekatan ini mengenai masalah hakikat intelegensi
terletak pada pemahaman mengenai hukum-hukum dan prinsip umum yang dipergunakan
individu untuk memperoleh bentuk-bentuk perilaku baru.
2. Pendekatan Neurobiologis
Pendekatan ini beranggapan bahwa intelegensi memiliki dasar
anatomis dan biologis. Perilaku intelegensi menurut pendekatan ini dapat
ditelusuri dasar-dasar neuro-anatomis dan neuro-fisiologisnya.
3. Pendekatan Psikomotorik
Pendekatan ini beranggapan bahwa intelegensi merupakan suatu
konstrak atau sifat psikologis yang berbeda-beda kadarnya bagi setiap dua arah
study, yaitu.
•
Bersifat praktis yang menekankan pada pemecahan
masalah
•
Bersifat teoritis yang menekankan pada konsep
dan penyusunan teori.
4. Pendekatan Teori Perkembangan.
Dalam pendekatan ini, studi intelegensi dipusatkan pada
masalah perkembangan intelegensi secara kuantitatif dalam kaitannya dengan
tahap-tahap perkembangan biologis individu.